Tuesday, September 8, 2009

Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga

Tulisan Kesembilan
Ada beberapa peralatan yang dibuat dan dipakai sendiri oleh masyarakat Kampung Naga. Beberapa yang telah terdokumentasikan, secara umum dapat terbagi kepada beberapa hal, diantaranya rumah, Bumi Ageung, Masjid dan Bale Patemon, Saung Lisung, Leuit dan sebagainya. 


A.    Bangunan
1.    Perumahan
Rumah adat masyarakat Kampung Naga memiliki keunikan yang khas. Jenis rumahnya adalah rumah panggung dengan ketinggian kolong sekitar 40-50 sentimeter (rumah jenis ini merupakan tipe rumah adat sebagian masyarakat Sunda, terutama di daerah pedesaan di tanah Priangan). Bentuk dan bahan bangunan dasar rumah masyarakat Kampung Naga adalah empat persegi panjang, dengan atap memanjang (dalam bahasa Sunda dikenal dengan imah suhunan panjang). Pada kedua ujung atap terdapat suatu model silang atau cagak yang menyerupai sepasang tanduk. Cagak tersebut terbuat dari batangan bambu atau kayu yang dibungkus ijuk. Posisi atau orientasi rumah seragam, yaitu memanjang arah barat timur, sedangkan bagian muka rumah menghadap ke arah selatan atau utara. (H. M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 21-22)

Kerangka rumah adat masyrakat Kampung Naga terutama terbuat dari kayu dan bambu, atap terbuat dari ijuk dan daun tepus, sedangkan dinding rumah seluruhnya terbuat dari anyaman bambu. Lantai rumah terbuat dari bambu yang di cincang-cincang arah memanjang (tidak sampai putus), sehingga dapat dibentangkan (dalam bahasa Sunda dikenal dengan sebutan palupuh).

Karena bentuk rumahnya yang sederhana dan persegi empat, maka biasanya bangunan rumah masyarakat Kampung Naga tidaklah pelik. Bagian depan sekali (sebelum melewati pintu depan) terdapat tangga yang disebut golodog. Golodog terbuat dari bambu dan ada juga yang terbuat dari papan.
Golodog biasanya terdiri dari satu atau dua tahapan dengan panjang masing-masingdua meter dan lebar 30-40 cm. Selain berfungsi sebagai tangga masuk, pada waktu-waktu tertentu golodog dijadikan tempat duduk-duduk baik untuk bercengkrama atau semacamnya oleh kaum lelaki. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal.49-50)

Secara umum, pembagian rumah masyarakat Kampung Naga adalah sebagai berikut:
Pertama: Tepas Imah
Tepas imah merupakan ruang paling depan yang biasa dijadikan ruang tamu. Ruang ini merupakan ruang laki-laki manakala menerima tamu yang datang ke rumah mereka.  Walau berfungsi sebagai ruang tamu, tepas imah milik masyarakat Kampung Naga tidak dilengkapi dengan meja dan kursi.
Tepas imah sekaligus berfungsi sebagai filter yang menyaring berbagai kemungkinan pengaruh buruk yang akan masuk kedalam rumah. Oleh karena itu, tepas imah juga dilengkapi dengan semacam anyaman  yang disebut tangtang angin.

Tangtang angin dipercaya oleh masyarakat Kampung Naga sebagai penolak bala yang menjaga seluruh penghuni rumah. Setahun sekali, setiap bulan Muharram, tangtang angin diganti dengan yang baru. Letak pintu depan tempat menggantung tangtang angin tersebut tidak boleh sejajar dengan pintu belakan atau pintu dapur. Rumah dengan posisi pintu yang seperti itu dipercaya masyarakat tidak akan membawa keberuntungan. Selain itu, mereka juga mempercayai bahwa posisi pintu tempat menggantung tangtang angin yang sejajar dengan pintu belakang akan membawa kesulitan ekonomi bagi pemiliknya, karena rezeki yang datang dari pintu depan akan langsung keluar melalui pintu belakang tanpa sempat mampir di dalam rumah tersebut. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi)

Kedua: Tengah Imah
Tengah imah merupakan bagian tengah dari rumah masyarakat Kampung Naga. Sebagai ruang tengah, tengah imah berfungsi sebagai ruang tempat keluarga berkumpul. Bagi mereka yang memiliki anak, ruang tersebut berfungsi sekaligus sebagai ruang belajar bagi mereka.

Namun karena rumah masyarakat Kampung Naga rata-rata berukuran 6x8 meter, pada malam hari tengah imah sering dijadikan tempat tidur untuk anak-anak, atau sanak keluarga yang menginap. Walau demikian, antara tengah imah dengan tepas imah tidak memiliki pembatas. Sehingga jika dirasa masih kekurangan tempat, tepas imah biasa juga dijadikan tempat untuk tidur.

Ketiga: Pangkeng
Pangkeng artinya ruangan tempat tidur. Didalamnya hanya terdapat kasur dan bantal dan tidak terdapat perlengkapan lainnya, misalnya ranjang. Kasur digelar diatas palupuh. Tempat tersebut biasanya secara khusus hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang menjadi pemilik rumah tersebut. Untuk mereka yang memiliki rumah lebih besar, biasanya memiliki dua pangkeng. Tetapi karena rata-rata luas bangunannya terbatas, kebanyakan rumah di Kampung Naga hanya memiliki satu pangkeng. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi)

Keempat: Dapur dan Goah
Dapur dan goah merupakan kebalikan dari tepas imah karena wilayah ini merupakan wilayah kekuasaan kaum wanita. Di ruang inilah sebagian besar kaum wanita masyarakat Kampung Naga menghabiskan waktunya. Dapur berfungsi sebagai tempat memasak dan menyediakan hidangan. Sedangkan goah merupakan tempat penyimpanan beras atau gabah, dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Untuk meringankan pekerjaan, letak dapur dan goah sengaja dibuat secara berdekatan.

Goah dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga memiliki peran yang sangat penting sehingga untuk menentukan letak goah dibutuhkan perhitungan-perhitungan tertentu yang didasarkan kepada weton atau hari kelahiran sang istri pemilik rumah. 

Kelima: Kolong Imah
Kolong imah berada di antara permukaan tanah dengan bagian bawah lantai rumah. Tingginya kurang lebih 60 sentimeter. Kolong imah biasanya dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian, atau bisa juga dipakai sebagai tempat memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya.

2.    Bumi Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti yang sangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral, karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan tempat tinggal tokoh yang paling tua usianya diantara warga Kampung Naga lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan berpagar tinggi terbuat dari bambu dan dirangkap dengan pagar hidup dari hanjuang. (H. M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, Op. Cit., hal. 28)

3.    Masjid dan Bale patemon
Masjid dan bale petemon Kampung Naga terletak di daerah terbuka (open space). Rincinya kedua bangunan tersebut berada di depan lapangan milik warga masyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale patemon merupakan dua bangunan yang terletak di kawasan bersih yaitu di sekitar rumah masyarakat.

Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Sementara bale patemon mempunyai fungsi sebagai tempat musyawarah milik masyarakat Kampung Naga. (Danudin, Ketua DKM Masjid Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)

4.    Saung lisung
Saung lisung, merupakan tempat masyarakat Kampung Naga menumbuk  padi. Bangunan ini dibuat terpisah dari perumahan, yaitu dipinggir (atau diatas) balong (kolam ikan). Hal ini bertujuan agar limbah yang dihasilkan dari saung lisung yaitu berupa huut (dedak) dan beunyeur (potongan-potongan kecil dari beras) langsung masuk ke kolam dan menjadi makanan ikan. Dengan demikian, praktis limbah yang dihasilkan tidak mengotori sektor bersih (perumahan) milik warga. Demikian juga dengan kandang ternak. Kandang tersebut ditempatkan di atas balong yang langsung bersisian dengan sungai Ciwulan. Limbah yang dihasilkan kandang tersebut ditampung ke balong, atau langsung dialirkan ke sawah-sawah milik warga. (H. M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 29)

5.    Leuit
Leuit (lumbung), merupakan bangunan yang terletak di sekitar perumahan milik warga Kampung Naga. Leuit berfungsi untuk menyimpan padi hasil panen yang disumbangkan warga. Padi-padi tersebut biasa digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual maupun yang lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan sebagainya. 

Bangunan leuit ditempatkan di sektor perumahan jadi masuk ke dalam kawasan bersih milik masyarakat Kampung Naga. Sebelum padi dimasukkan ke dalam leuit padi dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap untuk ditumbuk. 

6.    Pancuran, pacilingan atau tampian
Pancuran, pacilingan atau tampian (jamban) merupakan suatu bangunan yang ukurannya bervariasi antara satu sampai empat meter bujur sangkar. Dinding bangunan tersebut terbuat dari bilahan-bilahan pohon enau atau bambu gelondongan yang dirakitkan. Pancuran ini kadang diberi atap (ijuk dan daun tepus), atau dibiarkan terbuka. Airnya dialirkan melalui pipa-pipa yang terbuat dari bambu gelondongan. Ketinggian jatuhnya air ke lantai jamban sekitar 60-100 cm. Aliran air yang demikianlah yang dikenal masyarakat Sunda dengan sebutan pancuran. Air pancuran langsung disadap dari selokan air atau lebih langsung lagi dai seke atau sumur (mata air).

Pancuran ditempatkan diatas balong-balong dengan ketinggian dari permukaan air balong sekitar 0,25 sampai 0,50 meter. Dengan demikian, semua kotoran langsung jatuh ke dalam balong  sebagai makanan ikan dan penyubur lumpur balong. Lumpur balong yang subur ini sekali atau dua kali dalam setahun dialirkan masyarakat ke sawah. Jelasnya balong tersebut memiliki fungsi yang banyak diantaranya adalah: Pertama, sebagai tempat pemeliharaan ikan; kedua, digunakan sebagai tempat MCK; ketiga, sebagai tempat penghancur kotoran; keempat, sebagai penyimpanan pupuk untuk menambah kesuburan sawah-sawah di sekitarnya.

B.    Peralatan Produksi
Peralatan pertanian yang digunakan masyarakat Kampung Naga tidak jauh berbeda dengan peralatan yang dipakai oleh para petani lain dari daerah Priangan. Peralatan pertanian yang biasa digunakan antara lain:
  1. Alat pembalik tanah: pacul (cangkul), wuluku singkal (weluku) yang ditarik oleh kerbau, garpuh dan linggis.
  2. Alat penghancur tanah: garu (sisir) yang juga ditarik kerbau.
  3. Alat untuk meratakan tanah, setelah tanah dihaluskan kemudian diratakan dengan pelet dan gagaruan.
  4. Alat penggaris atau pengatur jarak tanaman: caplak atau tagel.
  5. Garok, lalandak, alat untuk menyiangi rumput diantara rimbunan padi dan untuk meregangkan masa tanah agar mudah ditembus oleh akar-akar padi.
  6. Alat penebas atau pembersih rumput dan jerami: congkrang, parang, kored, arit (sabit).
  7. Etem, atau ani-ani atau ketam, alat tradisional untuk menuai padi.
  8. Tampir atau giribig, merupakan tempat menjemur padi atau gaplek.
  9. Tolombong, dingkul badag, terbuat dari anyaman bambu dan berfungsi sebagai tempat menyimpan padi.
  10. Boboko (bakul), said (bakul besar), sebagai tempat nasi atau beras.
  11. Aseupan (kukusan) terbuat dari anyaman bambu, bentuknya kerucut, alat penanak nasi, pengukus umbi-umbian dan lalab (lalapan).
  12. Nyiru (niru) berfungsi untuk menapi gabah atau beras.
  13. Lisung (lesung), tempat menumbuk padi tradisional (Di daerah Priangan, lisung digunakan juga sebagai alat kesenian berupa bunyi-bunyian, misalnya untuk kesenian gondang, atau untuk menandai terjadinya samagaha (gerhana))
  14. Halu (aluantan), merupakan pasangan dari lesung. Terbuat dari kayu, bentuknya bulat panjang dengan ukuran diameter lima sampai enam sentimeter dan panjang dua sampai tiga meter.
  15. Dulang, jahas, terbuat dari kayu yang cukup keras, misalnya kayu nagka, juar, pangkal pohon kelapa, atau enau (kawung) (Alat ini mempunyai bentuk kerucut terpancung, dilubangi seperti halnya lesung, ukuran diameter bagian bawah sekitar 20-25 sentimeter ndan bagian atas sekitar 35-40 sentimeter. Alat ini digunakan untuk ngagigihan, yaitu merendam atau memekarkan beras yang setengah matangsebelum dimatangkan lebih lanjut. Alat ini juga berfungsi untuk ngakeul (membolak-balikan nasi yang masih panas agar asapnya hilang dan nasi menjadi kenyal). Pekerjaan ini dibantu dengan alat lain yaitu hihid (kipas) dan pangarih (sejenis senduk besar dari kayu))
Alat-alat pemotong, penebang dan pembelah kayu atau bambu misalnya, golok, kampak, patik (bel), gergaji, sugu (alat penghalus kayu), baliung atau rimbas, bor, tatah dan sebagainya.

C.    Pakaian
Pakaian adat yang ada di Kampung Naga terdiri dari dua, yaitu pakaian adat yang dipakai sehari-hari dan pakaian adat yang khusus dipakai saat ada upacara ritual. Pakaian adat ini memiliki empat unsur yang dapat dibedakan secara jelas dibandingkan dengan masyarakat umumnya. Diantaranya adalah baju kampret (mirip jubah) berwarna putih atau hitam, totopong atau ikat kepala dari kain batik, sarung poleng (pelekat) atau calana komprang (mirip dengan celana kolor panjang), berwarna putih, biru atau hitam.

Bersambung…….

Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga
Oleh: Yogi Hendra Kusnendar S.Sos.I

merupakan serpihan-serpihan tulisan
dari skripsi penulis berjudul:

Da’wah Dan Tradisi Lokal
 (Studi Hajat Sasih Pada Masyarakat Adat Kampung Naga, Tasikmalaya dan Strategi Da’wah Terhadap Masyarakatnya)

0 comments:

Post a Comment

Note :

1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel
2. Berkomentarlah dengan bijak dan tidak boleh ada SARA
3. Mohon untuk tidak melakukan SPAM

Semoga tali Silaturrahim kita terus terjalin dengan saling berbagi informasi

Regards,
Yogi Hendra Kusnendar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...